Tempo Dukung Jokowi-JK Kriminalisasi Kebebasan Berpendapat
Cover edisi terbaru Majalah Tempo dengan judul Prahara Obor Rakyat sangat kental terasa sebagai kampanye hitam yang bermaksud untuk meng...
https://partaipolitikpemilu.blogspot.com/2014/06/tempo-dukung-jokowi-jk-kriminalisasi.html
Cover edisi terbaru Majalah Tempo dengan judul Prahara Obor Rakyat
sangat kental terasa sebagai kampanye hitam yang bermaksud untuk
menghina, menista dan memfitnah kubu Prabowo-Hatta secara sinis dan
vulgar yang menurut hemat saya mencerminkan kekurangajaran wartawan
Tempo yang sedang menikmati bulan madu dengan iklim kebebasan pers.
Alasan saya mengatakan hal ini sangat sederhana, yaitu kata "Prahara"
adalah akronim dari nama pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa yang sengaja
dibuat kubu Jokowi-JK untuk menghina (insult) lawan mereka yaitu Prabowo
dan Hatta Rajasa.
Cover majalah Tempo tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ("UU Pers") yang menyebutkan: "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah," dan bila dikaitkan dengan cover Tempo yang menyudutkan Prabowo-Hatta melalui penggunaan kata "Prahara" maka jelas sekali Tempo telah melanggar asas praduga tidak bersalah sebab telah menghakim kubu Prabowo-Hatta Rajasa sebagai pihak di belakang tabloid Obor Rakyat padahal tidak ada bukti dan pemred Obor Rakyat sudah menyatakan bahwa dia menerbitkan tabloid tersebut karena sebagai warga Jakarta merasa kecewa dengan sikap Jokowi yang tidak amanah.
Ini artinya, Tempo juga melanggar perannya sebagai pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, melanggar asas praduga tidak bersalah Prabowo-Hatta Rajasa yang merupakan bagian dari hak asasi sekaligus sengaja untuk tidak mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar (Pasal 6 UU Pers). Dengan demikian kemerdekaan pers yang dimiliki Tempo tidak dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum padahal UU Pers dengan tegas mengatur bahwa kemerdekaan pers harus berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Oleh karena itu sesungguhnya edisi Tempo berjudul Prahara Obor Rakyat itu tidak menghasilkan informasi yang mendidik masyarakat dan lebih sebagai sumber provokasi, berita bohong dan pembunuhan karakter supaya rakyat Indonesia tidak memilih kubu Prabowo dan Hatta Rajasa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Goenawan Mohamad, pendiri Tempo adalah pendukung Jokowi-JK; dan pemred Tempo, Arif Zulfikli pernah mengungkap definisi Tempo tentang "independensi pers" adalah boleh berpihak dan boleh tidak netral dengan alasan kemanusiaan, hak hidup manusia, pluralisme, dan lain-lain.
Lebih lanjut pemred Tempo tersebut juga mengakui bahwa media boleh tidak netral dalam berbagai hal, termasuk pemilu sehingga media boleh membuka skandal atau masa silam kandidat yang menurut mereka buruk dan yang penting semua kaidah jurnalistik dipenuh serta yang ditulis fakta yang bisa diuji kebenarannya, bukan fiksi apalagi fitnah. Apa yang dikatakan pemred Tempo sebenarnya filosofi dan nafas dari Tempo dalam menjalankan pemberitaan selama ini. Dengan kata lain Tempo memang majalah yang bias, tidak netral dan berpotensi menjadi conflict intensifier (mengenai jawaban Arif Zulfikli dapat dilihat di http://chirpstory.com/li/213683).
Konsep Tempo di atas tentu saja kembali melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Pers karena tidak menghormati asas praduga tidak bersalah. Mengapa demikian? Sebab dengan jurnalis berpihak maka mereka sudah tidak lagi objektif menilai seseorang atau suatu peristiwa dan secara psikologis pasti insan pers tersebut dalam membuat tulisan hanya akan menonjolkan sisi negatif dari pihak yang tidak dia sukai karena persepsinya dan hanya akan menonjolkan sisi positif dari pihak yang dia dukung; padahal belum tentu persepsi dia benar sebab persepsi sarat dengan bias yang sering tidak akurat.
Kita ambil contoh, kalimat Arif Zulfikli bahwa "skandal atau masa silam kandidat yang buruk harus dibuka," terkesan mulia, dan dapat dipastikan dia merujuk pada "skandal penculikan aktivis" yang dituduhkan kepada Prabowo Subianto. Karena Tempo sudah memihak pada Jokowi-JK maka informasi-informasi yang dapat menegasikan atau membuktikan bahwa "skandal buruk" tersebut tidak benar pasti ditutupi, dan itulah alasan Tempo tidak pernah membuka fakta bahwa Goenawan Mohamad dan SiaR media bawah tanahnya memiliki informasi bahwa operasi "penculikan aktivis" yang dilakukan Prabowo adalah atas perintah Panglima ABRI/Pangab, sedangkan mantan pangab justru memihak pada Jokowi-JK; dan Tempo juga tidak mengulas dokumen tentang Operasi Kuningan yang kemarin diserahkan kepada Komnas HAM yang isinya bila benar bukan saja membuktikan Prabowo difitnah tapi juga membuktikan kelompok penjahat pelanggar HAM sebenarnya mendukung Jokowi dan JK.
http://www.minihub.org/siarlist/msg00741.html
http://m.aktual.co/politik/145428operasi-kuningan-wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan
Konsepsi Tempo mengenai "independen" juga menyebabkan mereka berkali-kali melanggar Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Pers ("Kode Etik Pers"), khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dengan penjabaran diberikan khusus cover edisi Prahara Obor Rakyat sebagai berikut:
a. Cover tersebut melanggar Pasal 1 Kode Etik Pers yang mewajibkan wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk sebab jelas sekali cover tersebut tidak sesuai keadaan objektif sebab tidak ada unsur Prabowo-Hatta Rajasa dalam Obor Rakyat; serta terasa niat buruk Tempo untuk mengurangi elektabilitas kedua pasangan itu yang berarti menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Cover tersebut jelas tidak profesional sesuai ketentuan Pasal 2 Kode Etik Pers sebab gambar yang dimuat dalam majalah tidak ditampilkan secara berimbang, hanya gambar Jokowi meniup koran yang dibuat seperti obor yang bernyala dan disandingkan dengan kata "Prahara".
c. Sebagaimana dijelaskan di atas, cover tersebut telah menerapkan asas praduga bersalah, telah menghakimi dan tidak berimbang sehingga melanggar Pasal 3 Kode Etik Pers.
d. Wartawan Indonesia tidak boleh membuat berita yang bohong dan fitnah; dan sementara belum ada bukti bahwa Obor Rakyat dibuat oleh kubu Prabowo-Hatta Rajasa tapi Tempo sudah menampilkan cover yang menuduh keduanya sebagai pelaku.
Penjabaran pelanggaran hukum dan kode etik dalam artikel ini memang sengaja difokuskan pada cover sebab bila saya membahas isinya maka bisa-bisa artikel ini menjadi semacam draft untuk menggugat Tempo ke Dewan Pers dengan alasan Tempo telah melakukan viktimisasi melalui pemberitaan dengan menyalahgunakan kebebasan pers yang diberikan. Dalam hal ini Tempo bisa dimasukan kepada kategori invisible criminal karena bisa merugikan masyarakat melalui tindakan main hakim sendiri tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal; apalagi Putusan Mahkamah Agung No. 3173 K/Pdt/1991 tanggal 28 April 1993 dalam kasus Anif v. Surat Kabar Harian Garuda telah memberikan pintu masuk bagi pers untuk tidak memberitakan kebenaran.
Saya pikir Tempo harusnya juga paham bahwa kebebasan pers terkait erat dengan hak sipil masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ("UU HAM") bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pengaturan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi juga diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2005; dan Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights.
Oleh karena itu kasus tabloid Obor Rakyat sesungguhnya penting untuk diteliti sebagai studi dalam kontras. Di satu sisi orang-orang Tempo baik di dalam maupun diluar Tempo sangat aktif memperjuangkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat serta hak warga menerima informasi sehingga kuatir Prabowo akan mengebiri hak asasi ini bila menjadi presiden, akan tetapi di sisi lain Tempo sangat antusias dalam mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan berusaha "menyensor" hak orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia, dan dalam hal ini sarana tersebut berupa tabloid Obor Rakyat.
Benar, sekalipun tabloid Obor Rakyat mungkin bukan merupakan produk pers, namun dia merupakan sarana kebebasan berpendapat dari orang-orang yang berada di belakangnya yang dilindungi oleh Pasal 28F Perubahan Kedua UUD'45 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Dengan demikian Tempo sesungguhnya telah mendukung kriminalisasi terhadap sebuah hak yang dijamin sebagai suatu hak asasi dalam konstitusi kita yang juga adalah wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Malah dapat disimpulkan bahwa Tempo baik sengaja maupun tidak sengaja telah merusak dan mendekonstruksi alam demokrasi di Indonesia dengan menggunakan cara atau metode rezim otoriter di mana orang tidak bebas berpendapat karena ada budaya "imbauan"; "budaya telepon"; "intimidasi"; "sensor oleh tamu tidak diundang", misalnya melalui cara kriminalisasi terhadap pendapat yang tidak disukai.
Saya paham bahwa Tempo tidak berada dalam suatu vacuum social sebab Tempo berinteraksi dengan pemilik modal dan pendirinya yang merupakan pendukung Jokowi-JK dan Tempo telah menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme dan baik sadar atau tidak sadar telah menjadi juru bicara dari kelompok yang mewarisi sistem militerisme, dan otoriter yang mereka lawan. Saya paham kepentingan Goenawan Mohamad sering menjadi kepentingan Tempo, dan tidak perlu naif dalam hal ini dengan berlindung di balik jargon "independen" sehingga Tempo sering bias secara politik, ekonomi dan ideologi karena mengikuti politik, ekonomi dan ideologi yang dianut oleh Goenawan Mohamad.
Masalahnya adalah beberapa tindakan Goenawan Mohamad mengingatkan kita pada sejarah pahit pers ketika ada Persbreidel Ordonantie, misalnya ketika Goenawan Mohamad mengirim sms kepada Surya Paloh terkait berita di Media Indonesia yang tidak dia sukai karena memuat cerita pesta alkohol dalam "acara budaya" yang dia adakan sehingga berakibat wartawan yang menulis mengundurkan diri; atau ancaman Goenawan Mohamad kepada Kompasiana karena tulisan akun bernama Jilbab Hitam yang dirasa merugikan Tempo. Bukankah tindakan Goenawan Mohamad ini mengingatkan para jurnalis senior masa di mana "budaya telepon" ke kantor pers karena pemberitaan sedang marak-maraknya?
Sangat ironis bahwa Tempo mendukung kriminalisasi Obor Rakyat sebab mungkin Tempo lupa bahwa trend di dunia sekarang ini adalah dekriminalisasi pasal pencemaran nama baik dan pendapat Andrew Chigovera dalam Manual IFJ halaman 6: "Di dalam masyarakat demokratis, aktivitas-aktivitas pejabat publik harus terbuka terhadap pengawasan publik. Pasal pidana mengenai pencemaran nama baik mengintimidasi individu-individu untuk tidak mengungkap kebobrokan para pejabat publik dan oleh karenanya pasal semacam ini bertentangan dengan kebebasan berpendapat," tapi Tempo malah mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat, padahal manual ini diterbitkan oleh AJI, organisasi wartawan yang didirikan oleh Goenawan Mohamad dan sangat dekat dengan personil Tempo.
Artikel ini akan saya tutup dengan mengutip perkataan Thomas Jefferson kepada Elbridge Gerry: "I am..for freedom of the press and against all violations of the Constitution to silence by force and not by reason the complaints or criticisms, just or unjust, of our citizens against the conduct of their agents.." Jadi mengapa Tempo mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan lebih penting lagi mendukung pihak calon presiden dan calon wakil presiden yang menghalalkan kriminalisasi kebebasan berpendapat dengan tujuan membungkam keluhan atau kritik, baik benar atau tidak benar dari warga masyarakat terhadap pejabat mereka, terlebih lagi calon presiden dan wakil presiden mereka yang mungkin memerintah negara ini untuk lima tahun mendatang?
by:barrraka
Cover majalah Tempo tersebut melanggar Pasal 5 ayat (1) Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers ("UU Pers") yang menyebutkan: "Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tidak bersalah," dan bila dikaitkan dengan cover Tempo yang menyudutkan Prabowo-Hatta melalui penggunaan kata "Prahara" maka jelas sekali Tempo telah melanggar asas praduga tidak bersalah sebab telah menghakim kubu Prabowo-Hatta Rajasa sebagai pihak di belakang tabloid Obor Rakyat padahal tidak ada bukti dan pemred Obor Rakyat sudah menyatakan bahwa dia menerbitkan tabloid tersebut karena sebagai warga Jakarta merasa kecewa dengan sikap Jokowi yang tidak amanah.
Ini artinya, Tempo juga melanggar perannya sebagai pers nasional untuk memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, melanggar asas praduga tidak bersalah Prabowo-Hatta Rajasa yang merupakan bagian dari hak asasi sekaligus sengaja untuk tidak mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar (Pasal 6 UU Pers). Dengan demikian kemerdekaan pers yang dimiliki Tempo tidak dijalankan dalam bingkai moral, etika dan hukum padahal UU Pers dengan tegas mengatur bahwa kemerdekaan pers harus berdasarkan prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum.
Oleh karena itu sesungguhnya edisi Tempo berjudul Prahara Obor Rakyat itu tidak menghasilkan informasi yang mendidik masyarakat dan lebih sebagai sumber provokasi, berita bohong dan pembunuhan karakter supaya rakyat Indonesia tidak memilih kubu Prabowo dan Hatta Rajasa. Sudah bukan rahasia lagi bahwa Goenawan Mohamad, pendiri Tempo adalah pendukung Jokowi-JK; dan pemred Tempo, Arif Zulfikli pernah mengungkap definisi Tempo tentang "independensi pers" adalah boleh berpihak dan boleh tidak netral dengan alasan kemanusiaan, hak hidup manusia, pluralisme, dan lain-lain.
Lebih lanjut pemred Tempo tersebut juga mengakui bahwa media boleh tidak netral dalam berbagai hal, termasuk pemilu sehingga media boleh membuka skandal atau masa silam kandidat yang menurut mereka buruk dan yang penting semua kaidah jurnalistik dipenuh serta yang ditulis fakta yang bisa diuji kebenarannya, bukan fiksi apalagi fitnah. Apa yang dikatakan pemred Tempo sebenarnya filosofi dan nafas dari Tempo dalam menjalankan pemberitaan selama ini. Dengan kata lain Tempo memang majalah yang bias, tidak netral dan berpotensi menjadi conflict intensifier (mengenai jawaban Arif Zulfikli dapat dilihat di http://chirpstory.com/li/213683).
Konsep Tempo di atas tentu saja kembali melanggar Pasal 5 ayat (1) UU Pers karena tidak menghormati asas praduga tidak bersalah. Mengapa demikian? Sebab dengan jurnalis berpihak maka mereka sudah tidak lagi objektif menilai seseorang atau suatu peristiwa dan secara psikologis pasti insan pers tersebut dalam membuat tulisan hanya akan menonjolkan sisi negatif dari pihak yang tidak dia sukai karena persepsinya dan hanya akan menonjolkan sisi positif dari pihak yang dia dukung; padahal belum tentu persepsi dia benar sebab persepsi sarat dengan bias yang sering tidak akurat.
Kita ambil contoh, kalimat Arif Zulfikli bahwa "skandal atau masa silam kandidat yang buruk harus dibuka," terkesan mulia, dan dapat dipastikan dia merujuk pada "skandal penculikan aktivis" yang dituduhkan kepada Prabowo Subianto. Karena Tempo sudah memihak pada Jokowi-JK maka informasi-informasi yang dapat menegasikan atau membuktikan bahwa "skandal buruk" tersebut tidak benar pasti ditutupi, dan itulah alasan Tempo tidak pernah membuka fakta bahwa Goenawan Mohamad dan SiaR media bawah tanahnya memiliki informasi bahwa operasi "penculikan aktivis" yang dilakukan Prabowo adalah atas perintah Panglima ABRI/Pangab, sedangkan mantan pangab justru memihak pada Jokowi-JK; dan Tempo juga tidak mengulas dokumen tentang Operasi Kuningan yang kemarin diserahkan kepada Komnas HAM yang isinya bila benar bukan saja membuktikan Prabowo difitnah tapi juga membuktikan kelompok penjahat pelanggar HAM sebenarnya mendukung Jokowi dan JK.
http://www.minihub.org/siarlist/msg00741.html
http://m.aktual.co/politik/145428operasi-kuningan-wiranto-perintahkan-13-aktifis-98-dibumihanguskan
Konsepsi Tempo mengenai "independen" juga menyebabkan mereka berkali-kali melanggar Surat Keputusan Dewan Pers No. 03/SK-DP/III/2006 tentang Kode Etik Pers ("Kode Etik Pers"), khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 dengan penjabaran diberikan khusus cover edisi Prahara Obor Rakyat sebagai berikut:
a. Cover tersebut melanggar Pasal 1 Kode Etik Pers yang mewajibkan wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang dan tidak beritikad buruk sebab jelas sekali cover tersebut tidak sesuai keadaan objektif sebab tidak ada unsur Prabowo-Hatta Rajasa dalam Obor Rakyat; serta terasa niat buruk Tempo untuk mengurangi elektabilitas kedua pasangan itu yang berarti menimbulkan kerugian pada pihak lain.
b. Cover tersebut jelas tidak profesional sesuai ketentuan Pasal 2 Kode Etik Pers sebab gambar yang dimuat dalam majalah tidak ditampilkan secara berimbang, hanya gambar Jokowi meniup koran yang dibuat seperti obor yang bernyala dan disandingkan dengan kata "Prahara".
c. Sebagaimana dijelaskan di atas, cover tersebut telah menerapkan asas praduga bersalah, telah menghakimi dan tidak berimbang sehingga melanggar Pasal 3 Kode Etik Pers.
d. Wartawan Indonesia tidak boleh membuat berita yang bohong dan fitnah; dan sementara belum ada bukti bahwa Obor Rakyat dibuat oleh kubu Prabowo-Hatta Rajasa tapi Tempo sudah menampilkan cover yang menuduh keduanya sebagai pelaku.
Penjabaran pelanggaran hukum dan kode etik dalam artikel ini memang sengaja difokuskan pada cover sebab bila saya membahas isinya maka bisa-bisa artikel ini menjadi semacam draft untuk menggugat Tempo ke Dewan Pers dengan alasan Tempo telah melakukan viktimisasi melalui pemberitaan dengan menyalahgunakan kebebasan pers yang diberikan. Dalam hal ini Tempo bisa dimasukan kepada kategori invisible criminal karena bisa merugikan masyarakat melalui tindakan main hakim sendiri tanpa perlu takut dicap sebagai pelaku kriminal; apalagi Putusan Mahkamah Agung No. 3173 K/Pdt/1991 tanggal 28 April 1993 dalam kasus Anif v. Surat Kabar Harian Garuda telah memberikan pintu masuk bagi pers untuk tidak memberitakan kebenaran.
Saya pikir Tempo harusnya juga paham bahwa kebebasan pers terkait erat dengan hak sipil masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia ("UU HAM") bahwa setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia. Pengaturan kebebasan memperoleh dan menyampaikan informasi juga diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan (1) International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi melalui Undang-undang No. 2 Tahun 2005; dan Pasal 19 Universal Declaration of Human Rights.
Oleh karena itu kasus tabloid Obor Rakyat sesungguhnya penting untuk diteliti sebagai studi dalam kontras. Di satu sisi orang-orang Tempo baik di dalam maupun diluar Tempo sangat aktif memperjuangkan kebebasan pers dan kebebasan berpendapat serta hak warga menerima informasi sehingga kuatir Prabowo akan mengebiri hak asasi ini bila menjadi presiden, akan tetapi di sisi lain Tempo sangat antusias dalam mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan berusaha "menyensor" hak orang untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang tersedia, dan dalam hal ini sarana tersebut berupa tabloid Obor Rakyat.
Benar, sekalipun tabloid Obor Rakyat mungkin bukan merupakan produk pers, namun dia merupakan sarana kebebasan berpendapat dari orang-orang yang berada di belakangnya yang dilindungi oleh Pasal 28F Perubahan Kedua UUD'45 yang berbunyi: "Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia". Dengan demikian Tempo sesungguhnya telah mendukung kriminalisasi terhadap sebuah hak yang dijamin sebagai suatu hak asasi dalam konstitusi kita yang juga adalah wujud dari kedaulatan rakyat itu sendiri. Malah dapat disimpulkan bahwa Tempo baik sengaja maupun tidak sengaja telah merusak dan mendekonstruksi alam demokrasi di Indonesia dengan menggunakan cara atau metode rezim otoriter di mana orang tidak bebas berpendapat karena ada budaya "imbauan"; "budaya telepon"; "intimidasi"; "sensor oleh tamu tidak diundang", misalnya melalui cara kriminalisasi terhadap pendapat yang tidak disukai.
Saya paham bahwa Tempo tidak berada dalam suatu vacuum social sebab Tempo berinteraksi dengan pemilik modal dan pendirinya yang merupakan pendukung Jokowi-JK dan Tempo telah menjadi bagian dari sistem ekonomi kapitalisme dan baik sadar atau tidak sadar telah menjadi juru bicara dari kelompok yang mewarisi sistem militerisme, dan otoriter yang mereka lawan. Saya paham kepentingan Goenawan Mohamad sering menjadi kepentingan Tempo, dan tidak perlu naif dalam hal ini dengan berlindung di balik jargon "independen" sehingga Tempo sering bias secara politik, ekonomi dan ideologi karena mengikuti politik, ekonomi dan ideologi yang dianut oleh Goenawan Mohamad.
Masalahnya adalah beberapa tindakan Goenawan Mohamad mengingatkan kita pada sejarah pahit pers ketika ada Persbreidel Ordonantie, misalnya ketika Goenawan Mohamad mengirim sms kepada Surya Paloh terkait berita di Media Indonesia yang tidak dia sukai karena memuat cerita pesta alkohol dalam "acara budaya" yang dia adakan sehingga berakibat wartawan yang menulis mengundurkan diri; atau ancaman Goenawan Mohamad kepada Kompasiana karena tulisan akun bernama Jilbab Hitam yang dirasa merugikan Tempo. Bukankah tindakan Goenawan Mohamad ini mengingatkan para jurnalis senior masa di mana "budaya telepon" ke kantor pers karena pemberitaan sedang marak-maraknya?
Sangat ironis bahwa Tempo mendukung kriminalisasi Obor Rakyat sebab mungkin Tempo lupa bahwa trend di dunia sekarang ini adalah dekriminalisasi pasal pencemaran nama baik dan pendapat Andrew Chigovera dalam Manual IFJ halaman 6: "Di dalam masyarakat demokratis, aktivitas-aktivitas pejabat publik harus terbuka terhadap pengawasan publik. Pasal pidana mengenai pencemaran nama baik mengintimidasi individu-individu untuk tidak mengungkap kebobrokan para pejabat publik dan oleh karenanya pasal semacam ini bertentangan dengan kebebasan berpendapat," tapi Tempo malah mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat, padahal manual ini diterbitkan oleh AJI, organisasi wartawan yang didirikan oleh Goenawan Mohamad dan sangat dekat dengan personil Tempo.
Artikel ini akan saya tutup dengan mengutip perkataan Thomas Jefferson kepada Elbridge Gerry: "I am..for freedom of the press and against all violations of the Constitution to silence by force and not by reason the complaints or criticisms, just or unjust, of our citizens against the conduct of their agents.." Jadi mengapa Tempo mendukung kriminalisasi kebebasan berpendapat dan lebih penting lagi mendukung pihak calon presiden dan calon wakil presiden yang menghalalkan kriminalisasi kebebasan berpendapat dengan tujuan membungkam keluhan atau kritik, baik benar atau tidak benar dari warga masyarakat terhadap pejabat mereka, terlebih lagi calon presiden dan wakil presiden mereka yang mungkin memerintah negara ini untuk lima tahun mendatang?
by:barrraka